Inspirasi agung dari Temple Grandin tentang penghargaan hidup kepada hewan. Foto: Rosalie Winard |
Hidup sebagai manusia normal pada umumnya saja sering kesulitan. Apalagi mereka yang memiliki kebutuhan khusus. Misalnya kamu memiliki Autisme atau ADD (Attention Deficit Disorder) atau ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder). Jangankan memusatkan perhatian (dalam waktu relatif lama), mau diam aja sulit! Gangguan ini terjadi karena ada gangguan pada saraf otak. Mereka yang sudah memiliki gangguan seperti ini saja masih ditambah seringkali dirundung (bully) dan mendapat perlakuan tidak adil. Misalnya toilet umum yang tidak tersedia bagi mereka yang berkursi roda.
Temple, yang 29 Agustus lalu genap berusia 75 tahun, sampai saat ini juga menjadi motivator perihal autisme dan saintis. Wah, selamat ulang tahun ya, Eyang Temple... Selain itu ia juga ahli peternakan khususnya sapi (ethical livestock handling). Saya sengaja tebelin kata "ethical". Kenapa mesti etis? Apa bedanya peternakan etis dengan tidak etis? Hubungannya apa antara industri pengolahan daging dengan etika?
Penyandang autisme yang mampu melihat lebih "sempurna"
Tesis S2 Temple yang meneliti tentang lenguhan sapi, mendapat banyak cibiran walaupun sudah mendapat apresiasi tinggi dari majalah "Cattle" dengan menyebut teknologi ciptaannya sebagai mahakarya. Ini contoh kasus nyata seperti yang saya katakan di awal ya. Sudah dapat label mahakarya aja masih dicibir loh! Hanya karena dia unik, punya cara & pendekatan yang aneh, dan seorang perempuan di dunia kerja yang mayoritas laki-laki. Menilai fisik saja tanpa relevansi dengan konteks. Dunia beruntung karena Temple tidak menggubris gunjingan dan cibiran yang dilemparkan kepadanya. Ia memilih keras kepala dan pantang menyerah. Mungkin karakter ini juga yang membantunya bisa terus fokus ya... Singkat cerita, akhirnya Temple berhasil meyakinkan pemilik peternakan untuk membuat desain khusus prosedur pemotongan sapi berdasarkan riset dan rancangannya.
Teknologi ini diciptakan Temple dari keprihatinannya ketika melihat cara memperlakukan sapi potong yang dinilainya tidak menghormati hidup si sapi. Tidak berperikebinatangan gitu. "Mereka bukan benda mati loh... Mereka makhluk hidup yang layak kita hormati. Terlebih lagi kita kan bergantung pada sapi-sapi ini" Begitu mungkin argumen Temple saat itu.
The Woman Who Thinks Like A Cow
Temple memberikan lebih banyak hal penting kemudian bagi dunia saintis hewan dan terutama bagi para orangtua dengan anak berkebutuhan khusus (mostly autism). Ia memberikan insight dari perspektif seorang penyandang autisme. Buat saya itu ibarat berlian langka. Dunia termasuk kita bisa belajar banyak bagaimana menjadi manusia yang lebih mulia dari seorang Temple, profesor unik dan istimewa yang berpikir seperti seekor sapi. Kalau dia bisa belajar menjadi manusia yang mulia dari seekor sapi, kenapa kita tidak?
"I think using animals for food is an ethical thing to do, but we've got to do it right. We've got to give those animals a decent life, and we've got to give them a painless death. We owe the animals respect" —Temple Grandin
Sumber:
Wikipedia
Situs Temple Grandin
Temple Grandin (NHD 2017 documentary entry) - Nessie Hannasus
Sumber-sumber lain