16 November 2009

Nyekar

Tradisi ziarah atau 'nyekar' atau 'nyadran', sudah tinggal lama dan lumrah di dalam masyarakat kita bahkan dilakukan oleh banyak masyarakat dunia, baik dari sisi budaya, agama, atau mistis. Kegiatan mengunjungi makam nenek moyang, keluarga atau orang yang kita hormati ini biasanya berlangsung (massal) di saat-saat tertentu. Saat menjelang hari raya besar keagamaan, tahun baru, hari-hari Nasional seperti Hari Kemerdekaan, Hari Pahlawan, dan lain-lain. Tujuannya pun beraneka ragam. Sebagai penghormatan kepada mereka yang telah meninggal, berjasa, sekedar melepas rindu, hingga mohon 'petunjuk'. Umumnya saat 'nyekar' kita berdoa secara khusus & khusuk untuk dan atau kepada arwah mereka yang telah lebih dulu berpulang, serta menabur bunga.

Namun demikian, berdoa arwah seperti ini bisa dilakukan tanpa ziarah atau 'nyekar'. Kita bisa lakukan di rumah atau tempat ibadah, dengan tujuan & kekhusukan yang sama. Anda pasti biasa mendengar atau ikut mendoakan arwah, 3 hari, 7 hari, 40 dan 1000 hari kematian seseorang. Penghormatan kepada arwah juga bisa dilakukan dengan banyak cara. Antara lain dengan berziarah seperti tadi, melakukan amanat atau pesan terakhir almarhum/ah, mengabadikan nama mereka sebagai nama jalan, tempat, atau pada anak/cucu mereka. Tapi apakah penghormatan seperti itu perlu dan harus dilakukan? Secara agama, apakah boleh?

Ada satu tradisi umat beragama Katolik yang masih dilakukan hingga sekarang. Setiap tanggal 1 November sampai seminggu sesudahnya, umat Katolik di seluruh dunia, secara khusus mendoakan arwah orang-orang beriman. Ketika seseorang meninggal, ia tidak lalu masuk 'surga' atau 'neraka'. Ada satu tempat, kami menyebutnya Purgatorium. Tempat di mana jiwa-jiwa tadi dimurnikan dulu karena dosa-dosa mereka selama hidup di dunia. Nah, doa-doa dari kita yang hidup inilah yang bisa membantu mereka agar segera dimurnikan dan bisa masuk ke alam surga. Begitu menurut kepercayaan Katolik. Lalu sebagai penghormatan kepada para orang Kudus, yaitu mereka yang diangkat menjadi Santo/Santa (orang-orang Suci) karena kesalehan hidup & keteguhan imannya, umumnya umat Katolik menamai anak-anak mereka dengan nama Santo/Santa tadi dengan harapan anak-anak mereka bisa meneladani kesalehan para Kudus tadi.

Itu salah satu contoh yang saya ketahui. Saya percaya, tiap budaya, agama, atau orang, punya tradisi, aturan, cara, dan alasannya sendiri dalam memperlakukan mereka yang telah meninggal. Lalu, dari sekian banyak bentuk penghormatan yang bisa kita berikan, adakah yang terpenting, yang mungkin bisa berdampak baik bagi kita yang masih hidup bahkan mungkin bagi anak cucu yang lahir nanti? Seperti pepatah bilang; "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan...utang" (ups! itu cuma berlaku buat koruptor, he he he). Yang benar adalah "...manusia mati meninggalkan keteladanan." Budi baik, sampai kemanapun pasti akan diingat. Keteladanan, kesalehan, kekuatan hati, keteguhan iman, para Santo/Santa, para Nabi, para Pahlawan, Orang tua yang membesarkan kita...pantas untuk dijaga, diteruskan, dan diwariskan. Marilah kita, setiap orang, membangun satu monumen megah. Bukan dengan batu dan semen. Bukan di jalan atau tempat-tempat yang biasa dilalui orang. Tapi dengan keteladanan mereka. Di hati kita.



Andreas & Petrus



Tidak ada komentar: