"memang bila kita kaji lebih jauh
dalam kekalutan masih banyak tangan
yang tega berbuat nista..."
(kutipan lagu Ebiet G Ade: “Untuk Kita Renungkan”)
Selain gelar negara korup, Indonesia juga dicap sebagai negeri penuh bencana. Kedua gelar itu memang didukung fakta. Yang juga lucu dan pahit adalah dana bencana dikorup, he he he he….. Parah betul Indonesia.
Mereka yang menyelewengkan dana bantuan bencana bagaikan burung pemakan bangkai. Terbusuk diantara kebusukan. Meski banyak orang menyadari hal ini, tapi masyarakat umumnya punya respon positif setiap terjadi musibah. Empati dan simpati mengalir deras. Dengan mudah dana swadaya masyarakat dihimpun oleh banyak lembaga atau kelompok, Ribuan relawan (dengan atau tanpa pamrih) juga siap turun tangan. Apakah dana itu bakalan sampai ke korban atau tidak masyarakat tak mau pusing, Yang penting beramal, soal yang nyolong serahkan saja pada razia Illahi.
Membahas hal-hal ini memang tiada batasnya, tapi supaya saya tidak ngelantur, saya ingin melontarkan dua hal sebagai wacana yang menyangkut pekerja sosial dan upaya bagi para penolong. Jangan sampai para penolong celaka seperti para korban yang ditolong.
Ada baiknya berbagai pihak mulai berpikir bagaimana jika setiap relawan juga ada asuransi ketika terjun ke lokasi bencana. Perusahaan jasa asuransi dan para ahlinya mesti mengkondisikan adanya kemudahan asuransi bagi relawan dalam berbagai kategori, bahkan asuransi itu bisa bersifat per-kasus bencana. Artinya periodik. Jangka pendek untuk relawan kontemporer/sementara atau panjang bagi yang memang profesinya adalah regu penolong. Biasanya mereka yang profesinya regu penolong sudah diasuransikan. Tapi gimana mereka yang jadi relawan dadakan atau periode tertentu. Dengan resiko yang tak terbatas wajar jika ada asuransi.
Itu tadi soal relawan, gimana dengan mereka yang memang bekerja sebagai regu penolong? Harus diakui bahwa pekerja sosial di Indonesia gajinya minim, (Yang saya maksud pekerja yang tidak ikut NGO dari luarnegeri, saya tidak tahu banyak penghasilan mereka).
Mereka yang mempertaruhkan kehidupannya untuk menolong orang lain juga punya kewajiban utama menghidupi keluarganya. Para pekerja sosial itu banyak yang miskin dan secara struktural juga bisa, dan sangat mungkin terpaksa terlibat korupsi.
Bencana masih bayak, walau pasti tidak kita harapkan…… korupsi masih tetap akan jadi budaya di negeri kita… inilah bencana di atas bencana.
Andreas & Petrus
06 Oktober 2009
30 September 2009
Ga Naik Kok, Cuma Disesuaikan!
Sudah merasakan kenaikan tarif tol yang mulai berlaku Senin, 28 September 2009 kemarin? Saya belum, karena memang tidak punya mobil. Tapi sebagai pengguna kendaraan umum, bisa jadi saya ikut kena dampaknya. Kalau naik taksi, lewat tol, jelas, saya harus bayar sesuai tarif tol baru. Nah, kalau naik bis, bagaimana? Ya, bisa kena juga. Kalau bis tersebut masuk tol, biasanya si kenek minta ongkos lebih. Alasannya, "Masuk tol, Mas..!" Asem!
tarif naik wajib, perbaikan mutu pelayanan ga wajib
Kenaikan rutin seperti ini memang harus diterima. Tidak bisa protes (baca: bisa protes tapi percuma, buang-buang waktu & tenaga!). Alasannya, karena hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang.
Menurut Undang-Undang Jalan Nomor 38 Tahun 2004, ”... penyesuaian tarif tol tiap dua tahun ... didasarkan tarif lama, yang disesuaikan dengan kenaikan tingkat inflasi....”
Tanpa kenaikan tarif, dana pemeliharaan berkurang sebab pemasukan dari pengguna tetap
Demi keadilan, tentu kenaikan tarif mesti diimbangi pemenuhan standar pelayanan minimum (SPM). Ada pagar tol, permukaan jalan, jumlah maksimal lubang, serta peningkatan kecepatan transaksi rata-rata. (baca lengkapnya di sini)
Nah, mengenai SPM ini pun pastinya masih mengecewakan. Atau mungkin karena standar minimumnya itu. Ibaratnya, Jasa Marga punya nilai raport rata-rata 6. Pemerintah selaku 'orang tua' bilang, "Tidak apa-apa deh nilai rata-ratanya 6, asal tidak merah!" Dibilang seperti itu, berpuas dirilah si Jasa Marga yang manja ini. Bah! Kalau demikian, kita usulkan saja SPM tadi diganti menjadi Standar Pelayanan Plus-Plus. Biar ada peningkatan, gitu loh!
Ok, katakanlah kenaikan tarif itu diperlukan antara lain untuk biaya pemeliharaan. Kalau jalan tol rusak karena dana pemeliharaan minim, harga saham pun anjlok karena industri tol kehilangan kepercayaan investor dalam dan luar negeri, bla bla bla bla... Tapi yaa, tolong, jangan jadikan rakyat pengguna jalan tol seperti sapi perahan yang harus ikut bertanggung jawab jika industri tol ini ambruk, tanpa diperhatikan suara dan kenyamanannya. Kayak bis umum aja. Penumpang sudah seperti sarden, masih disuruh rapat sana miring sini. Tidak peduli penumpang nyaman atau tidak, yang penting bayar penuh! Kejar setoran! Memangnya pemerintah lebih keberatan kehilangan kepercayaan investor daripada kehilangan kepercayaan rakyat?
Satu lagi, kalau Undang-Undang kenaikan tarif itu ada, kok, Undang-Undang yang berisi sanksi bagi operator jalan tol yang buruk atau nakal, tidak ada? Alasannya pasti satu, ngga mau rugiii...
Andreas & Petrus
tarif naik wajib, perbaikan mutu pelayanan ga wajib
Kenaikan rutin seperti ini memang harus diterima. Tidak bisa protes (baca: bisa protes tapi percuma, buang-buang waktu & tenaga!). Alasannya, karena hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang.
Menurut Undang-Undang Jalan Nomor 38 Tahun 2004, ”... penyesuaian tarif tol tiap dua tahun ... didasarkan tarif lama, yang disesuaikan dengan kenaikan tingkat inflasi....”
Tanpa kenaikan tarif, dana pemeliharaan berkurang sebab pemasukan dari pengguna tetap
Demi keadilan, tentu kenaikan tarif mesti diimbangi pemenuhan standar pelayanan minimum (SPM). Ada pagar tol, permukaan jalan, jumlah maksimal lubang, serta peningkatan kecepatan transaksi rata-rata. (baca lengkapnya di sini)
Nah, mengenai SPM ini pun pastinya masih mengecewakan. Atau mungkin karena standar minimumnya itu. Ibaratnya, Jasa Marga punya nilai raport rata-rata 6. Pemerintah selaku 'orang tua' bilang, "Tidak apa-apa deh nilai rata-ratanya 6, asal tidak merah!" Dibilang seperti itu, berpuas dirilah si Jasa Marga yang manja ini. Bah! Kalau demikian, kita usulkan saja SPM tadi diganti menjadi Standar Pelayanan Plus-Plus. Biar ada peningkatan, gitu loh!
Ok, katakanlah kenaikan tarif itu diperlukan antara lain untuk biaya pemeliharaan. Kalau jalan tol rusak karena dana pemeliharaan minim, harga saham pun anjlok karena industri tol kehilangan kepercayaan investor dalam dan luar negeri, bla bla bla bla... Tapi yaa, tolong, jangan jadikan rakyat pengguna jalan tol seperti sapi perahan yang harus ikut bertanggung jawab jika industri tol ini ambruk, tanpa diperhatikan suara dan kenyamanannya. Kayak bis umum aja. Penumpang sudah seperti sarden, masih disuruh rapat sana miring sini. Tidak peduli penumpang nyaman atau tidak, yang penting bayar penuh! Kejar setoran! Memangnya pemerintah lebih keberatan kehilangan kepercayaan investor daripada kehilangan kepercayaan rakyat?
Satu lagi, kalau Undang-Undang kenaikan tarif itu ada, kok, Undang-Undang yang berisi sanksi bagi operator jalan tol yang buruk atau nakal, tidak ada? Alasannya pasti satu, ngga mau rugiii...
Andreas & Petrus
Langganan:
Postingan (Atom)