20 Oktober 2009

Kultus

bagaikan babi buta
aku memujamu


Kultus itu pendewaan terhadap sesuatu. Mengkultuskan orang berarti mendewa-dewakan orang. Anda bisa amati sejarah dan zaman, berderet nama di dunia telah jadi kultus, jadi dewa. Di negeri kita yang berantakan namun tetap kucinta juga banyak orang dikultuskan. Tokoh politik, seniman (artis dan group band) pemimpin agama...

Sebagai contoh saya mau cerita tentang orang Indonesia yang dikultuskan banyak orang. Namanya tidak usah kusebut, soalnya nanti pengikutnya kalau tersinggung bisa ngamuk, he he he he…… Bukan karena saya takut, tapi males ribut. Dan juga, saya termasuk pengagum tokoh ini, meski pantang buat saya mendewa-dewakan dia.

Bagi banyak orang dia itu pinter banget (bagiku dia nggak pinter banget, tapi pinter aja),menguasai banyak bahasa. Pengikutnya puluhan juta, prestasinya mengagumkan, terkenal seluruh jagat, gaya bicaranya menarik dia lucu seperti saya, suka bikin orang terpingkal-pingkal, dia suka nyleneh, biang kontroversi, tak pernah kekurangan pendukung. Bagi pemujanya dia dibilang jenius dan sakti (punya pasukan jin kali ye….. he he he ). Dia orangnya baik budi, tidak sombong, rajin menabung. (yang ini nggak nyambung… he he he)

Tokoh ini sungguh ideal, Bukan salah dia dikultuskan, Apakah dia menikmati pendewaan terhadapnya atau tidak saya tidak tahu… Salah atau benar pengikutnya rela dan siap mati untuknya! Bukan main!

Dulu saya secara konyol juga memujanya tapi kemudian saya bertobat. Gara-garanya ketemu dia 2 kali. Yang pertama dengar pidatonya yang saya tunggu-tunggu, tapi tiba-tiba dia ngelantur jadi saya kecewa. Yang kedua saya ditugasi wawancara dengan beliau, petanyaan saya dan jawaban dia nggak nyambung jadi saya kesal. Ah, ini mah bukan dewa! Ini adalah manusia yang suka makan nasi dan menghasilkan tai.

Sehebat apapun dia kata orang, dia tak punyak hikmat yang datang dari Rohkul Qudus dia adalah manusia biasa. Anehnya, manusia itu makhluk ciptaan paling sempurna, sekaligus selama masih manusia dia pasti punya kelemahan.

Siapakah dia? Itu nggak penting, “dia” itu bisa siapa saja. Yang penting mengagumi dan memuja itu boleh dan kita berhak. Tapi ya sewajarnya ajalah… Mestinya proporsional.
Sampai sekarang saya tetap mencintai dia dengan rasa hormat yang tulus, tapi saya tidak mau membabibuta.


Andreas & Petrus

06 Oktober 2009

Bencana Korupsi, Korupsi Bencana

"memang bila kita kaji lebih jauh
dalam kekalutan masih banyak tangan
yang tega berbuat nista..."

(kutipan lagu Ebiet G Ade: “Untuk Kita Renungkan”)

Selain gelar negara korup, Indonesia juga dicap sebagai negeri penuh bencana. Kedua gelar itu memang didukung fakta. Yang juga lucu dan pahit adalah dana bencana dikorup, he he he he….. Parah betul Indonesia.

Mereka yang menyelewengkan dana bantuan bencana bagaikan burung pemakan bangkai. Terbusuk diantara kebusukan. Meski banyak orang menyadari hal ini, tapi masyarakat umumnya punya respon positif setiap terjadi musibah. Empati dan simpati mengalir deras. Dengan mudah dana swadaya masyarakat dihimpun oleh banyak lembaga atau kelompok, Ribuan relawan (dengan atau tanpa pamrih) juga siap turun tangan. Apakah dana itu bakalan sampai ke korban atau tidak masyarakat tak mau pusing, Yang penting beramal, soal yang nyolong serahkan saja pada razia Illahi.

Membahas hal-hal ini memang tiada batasnya, tapi supaya saya tidak ngelantur, saya ingin melontarkan dua hal sebagai wacana yang menyangkut pekerja sosial dan upaya bagi para penolong. Jangan sampai para penolong celaka seperti para korban yang ditolong.

Ada baiknya berbagai pihak mulai berpikir bagaimana jika setiap relawan juga ada asuransi ketika terjun ke lokasi bencana. Perusahaan jasa asuransi dan para ahlinya mesti mengkondisikan adanya kemudahan asuransi bagi relawan dalam berbagai kategori, bahkan asuransi itu bisa bersifat per-kasus bencana. Artinya periodik. Jangka pendek untuk relawan kontemporer/sementara atau panjang bagi yang memang profesinya adalah regu penolong. Biasanya mereka yang profesinya regu penolong sudah diasuransikan. Tapi gimana mereka yang jadi relawan dadakan atau periode tertentu. Dengan resiko yang tak terbatas wajar jika ada asuransi.

Itu tadi soal relawan, gimana dengan mereka yang memang bekerja sebagai regu penolong? Harus diakui bahwa pekerja sosial di Indonesia gajinya minim, (Yang saya maksud pekerja yang tidak ikut NGO dari luarnegeri, saya tidak tahu banyak penghasilan mereka).

Mereka yang mempertaruhkan kehidupannya untuk menolong orang lain juga punya kewajiban utama menghidupi keluarganya. Para pekerja sosial itu banyak yang miskin dan secara struktural juga bisa, dan sangat mungkin terpaksa terlibat korupsi.

Bencana masih bayak, walau pasti tidak kita harapkan…… korupsi masih tetap akan jadi budaya di negeri kita… inilah bencana di atas bencana.

Andreas & Petrus