Golput itu akronimnya golongan putih. Dulu partai di Indonesia cuma dua: PDI dan PPP. Golkar menolak disebut partai, melainkan golongan. Baru sekarang Golkar mau disebut partai, setelah terpuruk karena dianggap bagian dari noda Orde Baru.
Golongan Karya suka warna kuning, PPP hijau, PDI merah. Bagi yang menolak 3 warna tersebut dianggap pilih warna putih, alias golput. Itulah kisah awal istilah golput.
Saya golput karena di Indonesia sudah, sedang dan akan mempraktekkan politik dagang sapi. Jika kursi legislatif tingkat daerah saja harganya ratusan juta sampai milyaran, kita tau nantinya uang rakyat yang bakal dirampok, pasti lebih dari modal yang dikeluarkan para caleg. Masak, dagang mau rugi. Jadi, caleg yang berhasil akan jadi maling, yang gagal jadi gila atau terpuruk hina. Mampus.
Pada tingkat pilpres, para calon adalah selebriti "penyembah" rakyat dalam masa kampanye. Siapapun nantinya yang terpilih akan "disembah" rakyat. Saya golput karena koalisi partai adalah kesepakatan konyol untuk berbagi kue kekuasaan. Saya golput karena kepentingan rakyat hanyalah instrumen utama keserakahan.
Saya tidak mengajak atau menyarankan orang lain golput. Terserah, lu! Ini pilihan pribadi. Ini adalah aspirasi politik saya. Saya menggunakan hak pilih saya untuk tidak menggunakan hak pilih saya. Menjadikan ini sebagai bagian dari aksi tanpa kekerasan. Tentu mereka yang memilih tidak golput, bukan berarti bagian dari kekerasan.
Dalam arti tertentu boleh juga kaum golput dianggap bisa menerima semua calon, atau sebaliknya. Selalu saja ada positifnya.
Indonesia butuh pemimpin bijak dan berkemampuan sebagai manusia super supaya bisa dandani negeri yang rusak parah ini. Tapi Superman tak pernah datang. Superman Is Dead.
Jadilah saya golput. Anda yang tidak setuju pasti punya segudang argumen...... Tentu saja saya juga punya...... Saya bukan anggota kaum nihilis.
andre soewardjo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar