28 Oktober 2011

Di Mana... Ke Mana... Nasionalisme?

Ketika hari-hari menjelang dan saat peringatan Kemerdekaan Republik ini tak lagi semeriah dulu... Ketika pesta demokrasi berlangsung ramai namun maknanya mendangkal... Kebanyakan dari kita mungkin akan berkata: "Nasionalisme saat ini sudah berkurang..."

Ketika hari-hari menjelang dan saat peringatan penting lainnya seperti "Sumpah Pemuda" atau "Kebangkitan Nasional", sepi dari gairah, kebanyakan dari kita mungkin akan berkata: "Nasionalisme saat ini semakin berkurang..."
Entah mengapa pula, generasi muda lebih banyak disorot dan dituding jika menyangkut kemerosotan (nasionalisme).

Ketika pasukan merah putih berlaga (dan menang) dalam kompetisi olahraga antar negara, khususnya di cabang sepak bola dan bulu tangkis, kita akan melihat dan merasakan gairah itu lagi, lalu mungkin akan berkata: "Nasionalisme belum hilang... Nasionalisme telah bangkit..."
Ketika banyak pelajar negeri ini yang menang dalam berbagai lomba kecerdasan antar negara dan pulang membawa kebanggaan bagi negeri ini, mungkin kebanyakan kita akan berkata: "Hidup Indonesia! Inilah calon-calon pemimpin di masa mendatang!"
Entah mengapa, jika menyangkut kebangkitan (nasionalisme), para pemimpin akan menaikan dagu, membusungkan dada, dan berkata "KITA..."

Apakah nasionalisme bangsa ini sekarang telah meluntur dan merosot jauh? Ataukah kita yang semakin bingung mencari tempat yang tepat untuk meletakkan nasionalisme itu?

Andreas & Petrus

26 Oktober 2011

Dirimu Adalah... Sesuatu...

Pikiran itu kompleks. Sekompleks otak manusia yang memproduksinya. Dengan pikiran, manusia mampu mengolah banyak data, mempertimbangkan berbagai pilihan dalam satu waktu, dan mengkalkulasi perhitungan-perhitungan rumit. Ide-ide cemerlang yang lahir dari pikiran manusia tadi mampu membawanya ke bulan, luar angkasa, menyelami dalamnya samudra, menyaksikan tarian proton dan elektron di dalam atom, bahkan membuat ilusi kehidupan.

Kata hati itu lebih sederhana. Lebih spontan. Ia bisa melompat begitu saja seperti lumba-lumba melenting tinggi dari dalam laut ke udara. Tapi, bukan berarti ia tidak lebih penting dibanding pikiran. Ia seperti galah panjang yang membuat manusia mampu melompat tinggi dan jauh sebelum pikiran mampu menyelesaikan perhitungan rumitnya. Bahkan ketika hasil perhitungan tadi, di atas kertas; gagal, kata hati bisa menyatakan kebalikannya.

Pikiran dan kata hati memang tidak selalu sejalan (mungkin keduanya tidak perlu selalu sejalan), namun bukan berarti mereka bisa dipisah sendiri-sendiri. Mereka tetaplah satu tim dengan keunikannya masing-masing. Anda tahu, hal terbesar yang terjadi dalam sejarah manusia ketika pikiran dan kata hati bersatu? Mereka 'menemukan' Tuhan, penciptanya...

Nasehat mengatakan, jika hatimu panas maka kepalamu (pikiranmu) harus tetap dingin (tenang). Sebaliknya, jika pikiranmu sedang buntu, gelap, dan mengatakan 'tidak mungkin', kamu harus belajar mendengarkan kata hatimu...

Dalam sebuah acara kompetisi menyanyi akbar "X-Factor" (USA) yang sedang berlangsung, ke-4 juri : Simon Cowell, Paula Abdul, L.A. Reid, & Nicole Schezinger seringkali harus membuat keputusan berat khususnya di babak pertengahan (Judges' Houses). Mereka harus menyaring lagi para kontestan yang ada sebelum mereka dibawa ke level Live Stage, tentunya dengan kalkulasi pertimbangan yang sangat tidak mudah. Dan ketika di depan mata, di telinga, di atas kertas para juri, para kontestan ini mampu memberikan penampilan terbaik bahkan memukau para juri, penyeleksian menjadi semakin sulit. Para juri seringkali harus meletakkan bahkan mungkin menyembunyikan pikiran mereka jauh-jauh, lalu mengandalkan kata hati mereka saja sebagai pijakan dan sandaran keputusan-keputusan urgent mereka.
Itu baru pengambilan keputusan dalam acara kontes menyanyi, apalagi harus mengambil keputusan atau pilihan atas seorang calon pemimpin... Wah, sungguh bukan perkara mudah. Mungkin, begitu sulitnya, hingga si pemilih menyerah dan menggunakan metode konyol yang ia tahu; Cap Cip Cup atau Mengurut Kancing Baju... pilih...tidak...pilih...tidak...he he he...

Ah, menjadi manusia memang rumit. Namun bisa jadi manusia memang didesain rumit agar siap dan mampu mengatasi hal-hal rumit dalam hidupnya dan tidak mendasarkan pilihannya pada jumlah kancing baju atau hal-hal konyol lainnya. Agar manusia mampu menggunakan pikiran dan kata hatinya untuk mengambil pilihan yang tepat dan perlu. Baik menggunakan keduanya ataupun salah satunya. Dan di antara kedua pilihan tersebut, anda butuh kebijaksanaan.

(The Serenity Prayer) Doa Ketentraman : "Ya Tuhan, berikanlah aku kekuatan agar mampu mengubah apa yang bisa kuubah, kerendahan hati agar mampu menerima apa yang tidak bisa kuubah, dan kebijaksanaan agar mampu membedakan kedua hal itu"

Andreas & Petrus 

31 Agustus 2011

Suri Idola

Masih segar dalam ingatan ketika Irfan Bachdim, Cristian "El Loco" Gonzales, dan Briptu Norman Kamaru menjadi idola baru. Gejala fenomenal ini dipicu oleh banyaknya pemberitaan oleh media massa khususnya elektronik. Popularitas Irfan Bachdim dan Gonzales yang meroket masih masuk di akal dikarenakan prestasi olah raga sepak bola (dan keelokan parasnya) yang disukai khususnya oleh kebanyakan wanita Indonesia. Namun popularitas Briptu Norman yang meroket bak rudal jenis Scud, karena aksinya bernyanyi sambil berjoget India, buat saya tidak masuk akal. Berita terakhir (19 April 2011), penggugah video aksinya di Youtube sudah tembus angka 200 ribuan!

Buat saya, yang menjadi tidak masuk akal adalah bagaimana saat ini menjadi orang terkenal seakan mudah sekali. Bisa dibilang dengan modal 'dengkul' saja orang bisa terkenal dalam waktu singkat. Tidak pandang bulu siapa dan usia berapa. Tidak mesti wajar dan sopan. Tanpa aturan dan kriteria. Semua bisa diunggah atau dinikmati, hampir tanpa saringan. Membius dan menggoda. Surga dan Neraka jadi satu. Ha ha ha...

Saat video unggahan Sinta & Jojo menyanyikan lagu "Keong Racun" booming, masyarakat latah menyaksikan, mengunduh, atau beli keping cd video tersebut yang menurut saya -maaf- biasa-biasa saja. Itu tidak masuk akal buat saya.

Ketika video Ariel, Luna & Cut Tari "beraksi" beredar luas sekali di jagad maya, masyarakat juga berbondong-bondong -walaupun mengaku tidak sengaja- menyaksikan, mengunduh, atau beli keping cd video tersebut. Tak kalah boomingnya ketika artis porno Jepang, Miyabi, mau datang ke Indonesia. Kakinya belum menapak saja, hebohnya sudah dahsyat bukan kepalang... Nah, ini lucunya, walaupun keempatnya, Ariel-Luna-Cut Tari-Miyabi- dihujat dengan dahsyat oleh kebanyakan para 'penikmatnya' tadi, secara statistik traffic pengunjung & pengunduh video atau foto 'aksi' mereka tinggi sekali. Begitu tingginya statistik tersebut sehingga mampu mendongkrak Indonesia menjadi peringkat ke-3 dunia sebagai pengakses situs/video porno. Statistik tadi belum termasuk mereka yang beli CD videonya atau dapat gratisan dari handphone teman, loh... he he he... Artinya, di dunia 'nyata' mereka dihujat namun di dunia maya mereka terbukti secara statistik menjadi idola. Kelucuan lainnya adalah, yang ini kok justru masuk akal buat saya. he he he...

Anda bisa membandingkan popularitas Aung San Suu Kyi dengan Lady Gaga saat ini. Atau dengan sesama musisi seangkatan lainnya, Katy Perry, misalnya. Sama-sama wanita, penyanyi, penulis lagu, cantik, seksi, dan sama-sama punya rekor dalam karir musik, sama-sama jadi idola, tapi sikap kontroversial membuat Gaga justru semakin diidolakan.

Sekarang ini menjadi idola masyarakat tampaknya menjadi semakin mudah, bahkan jauh dari mustahil. Menjadi teladan masyarakat justru kebalikannya, menjadi semakin sulit. Idola adalah mereka yang dipuja puji. Seringkali mengundang histeria massa. Keteladanan justru seringkali kebalikannya. Ia bersahaja dan cenderung jauh dari hiruk pikuk namun membekas dalam. Seorang teladan bisa menjadi seorang idola. Tapi seorang idola belum tentu bisa menjadi teladan. Kepopuleran seorang idola atau menjadi idola selalu menggoda. Keteladanan lebih terdengar membosankan. Idola adalah keberanian menjaga atau menghancurkan citra diri. Keteladanan adalah keberanian menjaga hati dan kemurnian.


Minal Aidin Wal Faidzin. Selamat Idul Fitri 1432 H.


Andreas & Petrus