23 Februari 2011

I Know You So Well

Lebih enak mana, membuat orang lain untuk berjanji kepada kita lalu menagih janji orang tersebut atau membuat dan menepati janji kita sendiri? Kalau pertanyaannya lebih enak mana, bisa jadi lebih enak yang pertama, toh? Lebih enak menagih janji teman yang berulang tahun untuk mentraktir kita daripada kebalikannya atau menagih hadiah atas keberhasilan kita naik kelas daripada menepati janji untuk tidak curang dalam mendapatkan nilai baik.
Untuk membuat janji, mungkin bukanlah perkara sulit bagi kebanyakan orang. Orang bahkan bisa saja mengumbar janji tanpa keseriusan apalagi rencana untuk menepatinya. Jadilah dia dicap OmDo alias Omong Doang atau lebih serius lagi dan sedang tren sekarang, dicap Pembohong. Dicap OmDo saja bisa membuat telinga panas apalagi dicap Pembohong. Coba bayangkan, jika anda punya hutang lalu berjanji akan membayarnya minggu depan tapi ternyata, hingga bulan depan anda masih belum melunasi hutang anda. Nah, jika kemudian anda digelari 'Pembohong', kira-kira bagaimana perasaan anda? He he he...
Berbohong mungkin hanya jadi masalah kecil saat kita kanak-kanak. Kita berbohong pada orang lain bahwa mangga yang kita bawa adalah pemberian orang, faktanya, kita mencuri mangga tersebut. Ramai-ramai pula dengan teman-teman (jangan-jangan kebiasaan mencuri ramai-ramai seperti yang dilakukan banyak pejabat sekarang adalah buah dari mencuri kolektif di masa kecil. He he he). Mencuri, apapun itu atau kapanpun itu, dengan alasan apapun, jelas merupakan dosa. Apalagi jika diikuti dosa lain seperti berdusta untuk menutupi perbuatan mencuri tadi. Wah, itu sama saja menyelesaikan masalah dengan problem!
Kembali ke perihal janji, ada kalanya ingkar janji itu bisa dimaklumi. Ayah saya seorang pelupa. Jadi ketika ia kerap lupa akan janjinya, kami bisa memaklumi. Tapi ayah saya konsekwen. Ia akan segera membayar janjinya, kalau bisa saat itu juga, mumpung dia ingat. Nah, kalau ayah saya cuma membayar janjinya dengan janji lain kemudian ditambal dengan janji lainnya atau menjanjikan janji lainnya, wah... pasti beda ceritanya. Daripada memaklumi dan pusing menunggu janji-janjinya, lebih pasti saya memanggil ayah saya, 'ayah pembohong'. Begitulah, jangan sampai janji yang anda sebar hanya berbuah kebohongan. Itulah yang kerap terjadi di ranah politik (negara kita). White lies, black lies... sama saja. Janji-janji wakil rakyat saat ini, ahh... capek dengernya, coz i know you so well.....


Andreas & Petrus 

15 Januari 2011

GERNAS

Saya tergetar melihat berita televisi yang ketika itu menyorot banjirnya suporter Timnas sepakbola Indonesia di perebutan piala AFF yang lalu. Seluruh tiket pertandingan yang digelar di Gelora Bung Karno, ludes. Halaman luar stadion, penuh sesak. Tempat-tempat yang menggelar acara nonton bola bareng, riuh ramai. Penonton di rumahpun tak kalah antusiasnya. Mereka yang bukan penggemar sepakbolapun mendadak heboh. Dahsyat!
Tanpa direncanakan, ini menjadi gerakan nasional yang lahir dari kemurnian hati. Dahaga & dendam rindu yang terpuaskan oleh momen-momen seperti ini. Menggetarkan.
Terakhir kali saya melihat gerakan seperti ini adalah ketika kasus ibu Prita Mulyasari vs RS OMI Bintaro. Kasus Daud dan Goliath ini memicu simpati masyarakat sedemikian besarnya hingga melampaui logika. Bayangkan, koin rupiah yang biasa disepelekan bisa terkumpul dari berbagai pelosok negeri hingga milyaran rupiah.
Kesadaran bahwa kita semua memiliki sesuatu yang sama, kebanggaan menjadi bagian dari sesuatu yang penting, solidaritas, menjadi benang merah momen-momen ini. Bayangkan jika gerakan nasional ini lebih panjang jangka waktunya atau bahkan permanen.
Satu fakta lagi, gerakan nasional ini berawal dari akar rumput. Bukan karena akar rumput ini kuat dan mudah menyebar, tapi karena saat inilah, di negeri megah ini, hanya akar rumput yang masih memiliki hati. Maju terus Indonesiaku.

Andreas & Petrus

10 November 2010

Bu Pur

Dulu, di Taman Kanak-Kanak, saya memiliki satu orang guru yang -kini kusadari dia begitu- spesial. Seringkali kita tidak menyadari kasih Tuhan yang selalu memberikan apa yang kita butuhkan, tidak hanya di saat kini, tapi juga mendatang. Kita tidak menyadari itu hingga saatnya tiba. Dulu, saya pun tidak menyadari hal ini, betapa Bu Pur istimewa.
Saya memiliki bakat. Dan setiap bakat pasti istimewa karena itu anugerah Tuhan. Namun saya hanya melihat tanpa menyadari apa yang bisa saya buat dan manfaatkan dari bakat tersebut. Dan Tuhan memberikan Bu Pur kepada saya. Ia memang tidak lalu membuat saya mengerti namun ia menunjukkan kepada saya -sesungguhnya- potensi yang saya miliki dan hal-hal mengagumkan apa yang bisa saya buat dengan bakat saya. Ia 'menemukan' saya. Ia pahlawan saya. Visi dan kasih seorang Bu Pur membuat saya mampu bertahan hidup hingga kini.
Di tengah bencana alam yang menggempur Indonesia seperti saat ini. Ketika para pemimpin sibuk mencalonkan sejumlah tokoh untuk menjadi ikon baru pahlawan bagi bangsa ini, seorang kakek di puncak Merapi, Mbah Maridjan mengurbankan dirinya dengan rendah hati namun gagah sampai akhir. Tanpa pamrih.
Terima kasih saya untuk Bu Pur dan Mbah Maridjan, para pahlawan sesungguhnya.

Andreas & Petrus